Kamis, 07 Oktober 2010

Guru Profesional

Oleh: Imam Nashokha, S.Pd.

Berbicara tentang profesi kependidikan, bagaimanapun guru dan sepadanannya dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur dan fasilitator yang berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan bagian sentral yang terus layak untuk diperbincangkan, apalagi menyangkut nilai-nilai dan aspek profesionalitasnya dalam kependidikan.

Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 pasal 1 ayat 5, disebutkan bahwa tenaga kependidikan adalah “anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan”. Pada ayat 6 pasal yang sama dilengkapi bahwa tenaga kependidikan termasuk “mereka yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan lainnya sesuai dengan disiplinnya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan”. Selanjutnya pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa “pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Mendasarkan pemahaman pada undang-undang No. 20 tahun 2003 di atas, maka terdapat 2 (dua) hal yang menjadi fokus penilaian terhadap tenaga kependidikan profesional, diantaranya:
1) Secara tegas dan legal dijelaskan bahwa guru harus memiliki kemampuan profesional dalam perencanaan, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, pemimbingan, penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat, sebagai kemampuan dasar (core skills of teaching profession). Penguasaan satu dan atau dua kemampuan saja belum lah cukup dan bisa dikatakan sebagai guru professional.
2) Kompetensi guru profesional, harus didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman terhadap peserta didik, pemahaman dan kemampuan menerapkan keterampilan dasar mengajar, pengetahuan dan kemampuan untuk memotivasi peserta didik, pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan teori belajar serta pemahaman terhadap kurikulum dan kemampuan mengidentifikasi ide dasar kurikulum.

Guru sebagai figur dan pencetak sumber daya manusia yang berkualitas, selain dituntut untuk memiliki beberapa keahlian seharusnya juga melek angka (numerate), melek ilmu (science literacy), melek budaya (cultur literacy), memiliki kecerdasan spiritual (spiritual intelligence), kecerdasan emosi (emotional intelligence) dan kecerdasan intelektual (intellectual intelligence) yang baik. Dengan kata lain penyebutan guru profesional ditambatkan bagi mereka yang memiliki multi skill dan kepribadian luhur.

Guru “iku digugu omongane lan ditiru kelakoane”. Guru itu perkataannya selalu diperhatikan dan perbuatannya selalu menjadi teladan. Menyandang profesi guru yang merupakan pejabat publik dan seolah terus dinilai tindak tanduknya bukan pekerjaan yang ringan, apalagi dengan tuntutan harus profesional. Bermodal jiwa teladan dan berwibawa saja, saat ini tidak cukup. Figur guru secara keseluruhan harus mampu memberikan pelajaran ilmu pengetahuan, mendidik, membimbing dan membentuk karakter moral yang baik bagi siswa, memiliki segenap potensi dan berbagai disiplin yang matang pada proses pendidikan. Dengan demikian penentu kualitas proses dan hasil pendidikan tertumpu pada guru.

Mutu pendidikan substansinya ditentukan oleh beberapa faktor penting, diantaranya: menyangkut input, proses, dukungan lingkungan, sarana dan prasarana. Input berkaitan dengan kondisi peserta didik (minat, bakat, potensi, motivasi, sikap), proses berkaitan dengan penciptaan suasana pembelajaran, yang banyak diperankan dan menuntut kreativitas pendidik (guru), dukungan lingkungan berkaitan dengan suasana dan kondisi yang mendukung proses pembelajaran seperti lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar. Sedangkan sarana dan prasarana adalah perangkat yang dapat memfasilitasi aktivitas pembelajaran, seperti gedung, alat-alat laboratorium, komputer dan sebagainya.

Melihat pada aspek dominasi penting seorang guru, yang tidak hanya berperan sebagai pendidik, penyelenggara dan perencana pendidikan berkualitas. Maka, upaya untuk terus mengembangkan dan mendesain model kurikulum pendidikan bagi guru profesional terus diaplikasikan, yaitu:
1) School Based Teacher Education (SBTE), model penyelenggaraan pendidikan guru yang berorientasi pada: (a) penyelenggaraan pendidikan semata-mata diselenggarakan di sekolah; dan (b) permasalahan tentang pendidikan guru diserap dari lapangan. Dari dua orientasi dan ciri tersebut, maka kurikulum yang dikembangkan terbatas kepada kepentingan peserta didik yang dirumuskan sekolah.
2) Collaborative Teacher Education (CTE), model pengembangan SBTE bahwa guru (pamong) di sekolah latihan dapat bekerjasama dengan dosen pembimbing dalam memecahkan persoalan kebutuhan praktikan (mahasiswa pendidikan guru), dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pembelajaran bagi peserta didik sampai pada format evaluasi yang baik.
3) Competency Based Teacher Education (CBTE), adalah model penyelenggaraan pendidikan guru yang kurikulumnya dikembangkan berdasarkan ukuran kemampuan atau kecakapan yang harus dikuasai oleh lulusan. Kurikulum pendidikan ini tidak hanya dikembangkan oleh lembaga penyelenggara, namun yang lebih penting adalah pengakuan dan justifikasi dari lembaga atau masyarakat pengguna. Kelembagaan inilah yang pada dasarnya akan memberikan lisensi (license) bagi lulusan untuk menjalankan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik.

Orientasi akhir sebagai produk pendikan guru profesional, bahwa guru harus mempunyai kompetensi kependidikan, mulai dari penguasaan bahan, administrasi, strategi dan metode pengajaran, pengelolaan kelas, mengenal peserta didik, mengembangkan media pengajaran secara ITC (infomation, technology and computerise), mengevaluasi hasil belajar, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, serta melaksanakan penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat luas. Dalam prosesnya terjadi keterkaitan timbal balik antara perilaku mengajar, interaksi pengajaran, perilaku belajar dan hasil belajar. Artinya, yang disebut sebagai guru masa depan adalah mereka yang mampu merencanakan dan mengelola perubahan baik bersifat kebijakan administratif maupun substansi pendidikan yang bersifat makro, messeo dan mikro (pembelajaran).

Berkaitan dengan pelayanan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masa depan (modern) dalam persaingan yang dinamis, untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia berkualitas. Maka, seorang guru dituntut mampu: (a) menerima perubahan sebagai suatu ciri kehidupan; (b) memahami berbagai akibatnya bagi organisasi pendidikan; (c) mengidentifikasi perlunya perubahan; serta (d) merencanakan, melaksanakan, serta mengevaluasi perubahan. Guru yang sesuai dengan kondisi globalisasi adalah guru yang mampu menguasai dan mengendalikan perubahan-perubahan yang berwawasan IPTEK, mempunyai kemampuan dalam mengantisipasi, mengakomodasi, serta mereorientasi terhadap perkembangan yang ada.

Mengantisipasi perkembangan IPTEK mencakup kemampuan intelektual dan sikap yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan, yang pada gilirannya mengantarkan peserta didik kepada tingkat penguasaan dan pengendalian terhadap situasi yang selalu berubah. Mengakomodasi pelbagai perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dijadikan bahan pemikiran bagi peserta didik dalam rangka pendidikan dan pelatihan dengan menggunakan jalur logika berpikir ilmiah yang benar. Realita tersebut dicari saling keterhubungannya, sebab akibatnya dan cara pemecahannya. Mereorientasi perubahan yang ada dengan cara merefleksi dan mengevaluasi untuk memperoleh hal-hal baru serta mengembangkan kemampuan yang telah dimiliki, secara seimbang pada wilayah personal, sosial dan spiritual yang sehat bagi keberlangsungan hidup kemanusiaan.
Pada akhirnya, sepakat bahwa dalam konteks guru profesional minimun harus mempunyai kriteria: (a) Kompetensi konseptual, seorang guru mempunyai dasar teori dari pekerjaan yang menjadi konsentrasi keahliannya; (b) Kompetensi teknis, seorang guru mempunyai kemampuan keterampilan dasar yang dibutuhkan dari pekerjaan dan menjadi konsentrasi keahliannya; (c) Kompetensi kontekstual, seorang guru memahami landasan sosial, ekonomi, budaya profesi dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang dikerjakan sesuai konsentrasi keahliannya; (d) Kompetensi adaptif, seorang guru mempunyai kemampuan penyesuaian diri dengan kondisi yang berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta (d) Kompetensi interpersonal, Seorang guru mempunyai kemampuan mengkomunikasikan secara efektif gagasan dari orang ke orang lain melalui cara-cara simbolis (bahasa tertulis atau percakapan).

Konsep Pendidikan Masa Depan

"Behavioristik VS Konstruktivistik"

olah: Imam Nashokha, S.Pd.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berperan mencetak generasi-generasi penerus bangsa masih cenderung menerapkan atau menggunakan konsep pendidikan klasikal yang lebih banyak mengarah kepada keteraturan, ketertiban, keseragaman, kerapian, sehingga semua tertata rapi. Era “takkan berubah dan tak boleh diubah” yang bermuara pada ”kepastian”, keteraturan, kerapian, ketertiban, dan keseragaman, paling tidak sebagai harapan, karena hingga kini belum pernah menjadi kenyataan, telah kita lewati sekian lama. Siapapun yang hidup di negara ini dipaksa untuk menikmatinya, dan tak terasa telah berjalan selama lebih dari setengah rata-rata usia manusia.

Kini, era “takkan berubah dan tak boleh diubah” mendapat sorotan dan menjadi wacana oleh orang yang peduli akan perubahan, salah satunya adalah Prof. DR. I Nyoman S. Degeng, M.Pd., beliau berpendapat bahwa muara akhir dari era keteraturan adalah ketidakteraturan. Ketertiban bermuara pada kekacauan, dan pada saat ini kita telah mengalami pergeseran dari era “takkan berubah dan tak boleh diubah” menuju era “kesemrawutan”.

Mulai bergesernya era di dalam pendidikan kita selama ini, berimplikasi pada munculnya demokratisasi pendidikan, dimana masing-masing sekolah atau lembaga pendidikan dapat mengembangkan konsep pendidikan yang ada sesuai dengan visi, misi dan potensi yang ada pada sekolah atau lembaga pendidikan tersebut.

Pemecahan masalah-masalah belajar dan pembelajaran sangat nampak sekali bertumpu pada paradigma keteraturan (behavioristik) sebagai lawan dari paradigma kesemrawutan (konstruktivistik). Belajar dan pembelajaran disemua jenjang nampak sekali didesain dengan menggunakan pendekatan keteraturan. Suatu pendekatan yang hingga kini diyakini sangat sahih oleh pengajar, orang tua, atau pendidik lainnya. Pada kajian tentang konsep pendidikan masa depan, penulis mencoba untuk menganalisis berdasarkan bahan bacaan yang relevan dalam upaya untuk mencari pendekatan pemecahan masalah pendidikan, khususnya terkait dengan belajar dan pembelajaran dalam kaitan konsep pendidikan masa depan.

Konsep pendidikan yang selama ini kita laksanakan (pendekatan behavioristik) lebih cenderung mematikan potensi yang ada pada anak. Bagaimana tidak, peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang dapat kita (Pendidik) isi dengan apapun. Padahal semua anak berbeda, dan masing-masing tentunya mempunyai potensi, pengetahuan dan keterampilan yang berbeda pula. Jadi, peserta didik bukanlah sebuah gelas kosong atau kertas putih yang dapat diisi atau ditulis semaunya oleh pendidik. Sangat jelas sekali, bahwa peran pendidik hanya sebagai motivator, fasilitator untuk menstimulasi potensi yang ada pada anak.

Pendekatan konstruktifistik lebih menekankan pada sesuatu yang beragam, ketidakteraturan, dan ketidakteraturan. Dengan memandang bahwa masing-masing anak itu berbeda dan memiliki potensi, serta model pembelajaran yang asik dan menyenangkan, maka akan indah sekali kiranya pendidikan kita. Sehingga tidak ada lagi yang namanya anak nakal ataupun bodoh.

Mulai bergesernya aliran atau pendekatan dalam pendidikan ini (beharioristik ke konstruktivistik), secara pelan namun pasti akan berujung pada penciptaan wajah pendidikan masa depan yang cerah. Harapan pendidikan masa depan adalah:
a. Teknologi komputer dan modernisasi pendidikan;
b. Perubahan dalam kualitas pendidikan;
c. Sekolah masa depan;
d. Guru masa depan;
e. Peran orang tua dalam pendidikan masa depan;
f. Teknologi komputer dan penelusuran kebudayaan;
g. Revolusi pendidikan.

Bisa dibayangkan, jika semua yang ada dilakukan melalui pendekatan konstruktivistik, maka harapan pendidikan masa depan tentunya sudah ada di depan mata kita. Untuk mendukung pergeseran dalam pendekatan pendidikan konstruktivistik ini, penulis mencoba mengaitkan dengan delapan postulat pendidikan (Robert Ulich Bab 12: Eight Postulates of Teaching dalam Philosophy of Education, Harvard University, Aerican Book Company. New York. 1981), yaitu (1) Postulat tentang individualisasi dan metode; (2) Postulat tentang totalitas; (3) Postulat tentang kemampuan atau motivasi; (4) Postulat tentang banyak sisi (many-sideness); (5) Postulat tentang mental order; (6) Postulat tentang keterkaitan mata pelajaran; (7) Postulat tentang self-activity; dan (8) Postulat tentang petunjuk etik.

Berdasarkan 8 (delapan) postulat pendidikan tersebut di atas merupakan dalil (postulat) yang harus dan benar-benar di pahami dan dihayati agar proses pembelajaran efektif dan efisien. Delapan postulat pendidikan ini memandang bahwa masing peserta didik merupakan individu yang memiliki karakter, cara belajar, kemampuan, dan motivasi berbeda.

Akhirnya, penulis berpendapat bahwa akan sulit ditemukan keteraturan karena setiap anak dimungkinkan untuk mengerjakan hal yang berbeda, baik jumlah maupun jenisnya. Akan sulit ditemukan kepastian karena setiap anak dimungkinkan melakukan pilihan kegiatan yang berbeda. Demikian pula, akan sulit ditemukan ketaatan dan kepatuhan karena suasana depat, ekspresi diri, pengambilan peran yang berbeda sangat ditonjolkan. Jadi, yang tersisa dan nampak sangat jelas adalah kesemrawutan. Sebagai penutup, penulis menegaskan bahwa konsep pendidikan masa depan hendaknya sebagai paradigma pembelajaran, “kesemrawutan” merupakan kerangka pikir pemecahan masalah-masalah pembelajaran dengan merancang beragam tindakan belajar sesuai dengna keragaman kekhasan si belajar, menuju ke tujuan yang beragam dengan strategi yang beragam, dan dengan melibatkan sumber-sumber yang beragam pula. Hidup adalah untuk menghargai keragaman dan menghargai perbedaan!


Daftar Pustaka:

Materi Pelatihan Tenaga Pendidik dan Kependidikan SMA Selamat Pagi Indonesia. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran, Batu: SMA Selamat Pagi Indonesia.

Degeng, I Nyoman S. 1998. Mencari Paradima Baru PemecahanMasalah Belajar Dari Keteraturan Menuju ke Kesemrawutan, Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang, Malang: IKIP Malang.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ulich, Robert. 1981. Eight Postulates of Teaching dalam Philosophy of Education, Harvard University, American Book Company, New York (dalam Fatimah, Siti. 1996. Delapan Postulat Pengajaran, Malang: FKIP-UMM).

Rabu, 29 September 2010

MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIMEDIA


Oleh: Imam Nashokha, S.Pd.
Disampaikan pada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Kabupeten Tabalong

di SMP Negeri 1 Tanjung, tanggal 25 September 2010

1.      PENGERTIAN
1.1  Media Pembelajaran
Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras.
Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

1.2  Multimedia Pembelajaran
Multimedia adalah media yang menggabungkan dua unsur atau lebih media yang terdiri dari teks, grafis, gambar, foto, audio, video dan animasi secara terintegrasi. Multimedia terbagi menjadi dua kategori, yaitu: multimedia linier dan multimedia interaktif.
multimedia pembelajaran dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan dalam proses pembelajran, dengan kata lain untuk menyalurkan pesan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta dapat merangsang piliran, perasaan, perhatian dan kemauan yang belajar sehingga secara sengaja proses belajar terjadi, bertujuan dan terkendali.

2.      MANFAAT MULTIMEDIA PEMBELAJARAN
Secara umum manfaat yang dapat diperoleh adalah proses pembelajaran lebih menarik, lebih interaktif, jumlah waktu mengajar dapat dikurangi, kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan dan prises belajar mengajar dapat dilakukan di mana dan kapan saja, serta sikap belajar siswa dapat ditingkatkan.
Manfaat di atas akan diperoleh mengingat terdapat keunggulan dari sebuah multimedia pembelajaran, yaitu:
·      Memperbesar benda yang sangat kecil dan tidak tampak oleh mata, seperti kuman, bakteri, elektron dll.
·      Memperkecil benda yang sangat besar yang tidak mungkin dihadirkan ke sekolah, seperti gajah, rumah, gunung, dll.
·      Menyajikan benda atau peristiwa yang kompleks, rumit dan berlangsung cepat atau lambat, seperti sistem tubuh manusia, bekerjanya suatu  mesin,  beredarnya planet Mars, berkembangnya bunga dll.
·      Menyajikan benda atau peristiwa yang jauh, seperti bulan, bintang, salju, dll.
·      Menyajikan benda atau peristiwa yang berbahaya, seperti letusan gunung berapi, harimau, racun, dll.
·      Meningkatkan daya tarik dan perhatian siswa. 

3.      KARAKTERISTIK MEDIA DALAM MULTIMEDIA PEMBELAJARAN
Sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran, pemilihan dan penggunaan multimedia pembelajaran harus memperhatikan karakteristik komponen lain, seperti: tujuan, materi, strategi dan juga evaluasi pembelajaran. 
Karakteristik multimedia pembelajaran adalah:
·    Memiliki lebih dari satu media yang konvergen, misalnya menggabungkan unsur audio dan visual.
·    Bersifat interaktif, dalam pengertian memiliki kemampuan untuk mengakomodasi respon pengguna.
·    Bersifat mandiri, dalam pengertian memberi kemudahan dan kelengkapan isi sedemikian rupa sehingga pengguna bisa menggunakan tanpa bimbingan orang lain.

4.      FORMAT MULTIMEDIA PEMBELAJARAN
Format sajian multimedia pembelajaran dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok sebagai berikut: 
4.1  Tutorial
Format sajian ini merupakan multimedia pembelajaran yang dalam penyampaian materinya dilakukan secara tutorial, sebagaimana layaknya tutorial yang dilakukan oleh guru atau instruktur. Informasi yang berisi suatu konsep disajikan dengan teks, gambar, baik diam atau bergerak dan grafik. Pada saat yang tepat, yaitu ketika dianggap bahwa pengguna telah membaca, menginterpretasikan  dan menyerap konsep itu, diajukan serangkaian pertanyaan atau tugas. Jika jawaban atau respon pengguna benar, kemudian dilanjutkan dengan materi berikutnya. Jika jawaban atau respon pengguna salah, maka pengguna harus mengulang memahami konsep tersebut secara keseluruhan ataupun pada bagian-bagian tertentu saja (remedial). Kemudian pada bahagian akhir biasanya akan diberikan serangkaian pertanyaaan yang merupakan tes untuk mengukur tingkat pemahaman pengguna atas konsep atau materi yang disampaikan.

4.2  Drill dan Practise
Format ini dimaksudkan untuk melatih pegguna sehingga memiliki kemahiran dalam suatu keterampilan atau memperkuat penguasaan suatu konsep. Program menyediakan serangkaian soal atau pertanyaan yang biasanya ditampilkan secara acak, sehingga setiap kali digunakan makan soal atau pertanyaan yang tampil selalu berbeda, atau paling tidak dalam kombinasi yang berbeda.
Program ini dilengkapi dengan jawaban yang benar, lengkap dengan penjelasannya sehingga diharapkan pengguna akan bisa pula memahami suatu konsep tertentu. Pada bahagian akhir, pengguna bisa melihat skor akhir yang dia capai, sebagai indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam memecahkan soal-soal yang diajukan.

4.3  Simulasi
Multimedia pembelajaran dengan format ini mencoba menyamai proses dinamis yang terjadi di dunia nyata, misalnya untuk mensimulasikan pesawat terbang, di mana pengguna seolah-olah melakukan aktifitas menerbangkan pesawat terbang, menjalankan usaha kecil, atau pengendalian pembangkit listrik tenaga nuklir dan lain-lain. Pada dasarnya format ini mencoba memberikan pengalaman masalah dunia nyata yang biasanya berhubungan dengan suatu resiko, seperti pesawat yang akan jatuh atau menabrak, peusahaan akan bangkrut, atau terjadi malapetaka nuklir.

4.4  Percobaan atau Eksperimen
Format ini mirip dengan format simulasi, namjun lebih ditujukan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat eksperimen, seperti kegiatan praktikum di laboratorium IPA, biologi atau kimia. Program menyediakan serangkaian peralatan dan bahan, kemudian pengguna bisa melakukan percobaan atau eksperimen sesuai petunjuk dan kemudian mengembangkan eksperimen-eksperimen lain berdasarkan petunjuk tersebut. Diharapkan pada akhirnya pengguna dapat menjelaskan suatu konsep atau fenomena tertentu berdasarkan eksperimen yang mereka lakukan secara maya tersebut. 

4.5  Permainan
Tentu saja bentuk permaianan yang disajikan di sini tetap mengacu pada proses pembelajaran dan dengan program multimedia berformat ini diharapkan terjadi aktifitas belajar sambil bermain. Dengan demikian pengguna tidak merasa bahwa mereka sesungguhnya sedang belajar.

5.      LANGKAH MEMBUAT MULTIMEDIA PEMBELAJARAN
Sebelum kita melangkah pada perencanaan pembuatan multimedia pembelajaran, terlebih dahulu kita mengetahui bagaimana langkah-langkah merancang media, yaitu:
·         Kumpulkan dan inventarisir informasi tentang issue-issue, masalah-masalah sumberdaya dan kebutuhan;
·         Pisahkan informasi dan kategorikan masing-masing informasi sesuai dengan aspek;
·         Tentukan jenis media yang dipilih;
·         Tuangkan informasi dalam bentuk sandi;
·         Terjemahkan masing-masing sandi ke dalam kalimat instruksional;
·         Buatlah sket atau desain gambar (jiba bentuk media adalah gambar);
·         Produksikan dalam jumlah terbatas;
·         Buat deskripsi media;
·         Uji coba media pada kelompok tertentu;
·         Revisi/perbaiki setelah diuji coba; dan
·         Gandakan hasil revisi untuk digunakan dalam pembelajaran.

Nah, setelah memahami bagaimana merencanakan dan merancang media, selanjutnya kita melangkah pada bagaimana mengembangkan multimedia pembelajaran itu, yaitu:
5.1  Tentukan Jenis Multimedia Pembelajaran
Perhatikan dengan benar, yang akan kita buat itu apakah alat bantu kita untuk mengajar (presentasi) ke siswa atau kita arahkan untuk bisa dibawa pulang siswa alias untuk belajar mandiri di rumah atau sekolah. Jenis multimedia pembelajaran menurut kegunannya ada dua:
a.       Multimedia Presentasi Pembelajaran: Alat bantu guru dalam proses pembelajaran di kelas dan tidak menggantikan guru secara keseluruhan. Berupa pointer-pointer materi yang disajikan (explicit knowledge) dan bisa saja ditambahi dengan multimedia linear berupa film dan video untuk memperkuat pemahaman siswa. Dapat dikembangkan dengan software presentasi seperti: OpenOffice Impress, Microsoft PowerPoint, dsb.
b.      Multimedia Pembelajaran Mandiri: Software pembelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh siswa secara mandiri alias tanpa bantuan guru. Multimedia pembelajaran mandiri harus dapat memadukan explicit knowledge (pengetahuan tertulis yang ada di buku, artikel, dsb) dan tacit knowledge (know how, rule of thumb, pengalaman guru). Tentu karena menggantikan guru, harus ada fitur assesment untuk latihan, ujian dan simulasi termasuk tahapan pemecahan masalahnya. Untuk level yang kompleks dapat menggunakan software semacam Macromedia Authorware atau Adobe Flash. Sayangnya saya masih belum bisa nemukan yang selevel dengan itu untuk opensource-nya. Kita juga bisa menggunakan software yang mudah seperti OpenOffice Impress atau Microsoft PowerPoint, asal kita mau jeli dan cerdas memanfaatkan berbagai efek animasi dan fitur yang ada di kedua software terebut.

5.2 Tentukan Tema Materi Ajar
Ambil tema bahan ajar yang menurut kita sangat membantu meningkatkan pemahaman ke siswa dan menarik bila kita gunakan multimedia. Ingat bahwa tujuan utama kita membuat multimedia pembelajaran adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa. Jangan terjebak ke memindahkan buku ke media digital, karena ini malah mempersulit siswa. Ketika guru biologi ingin menggambarkan sebuah jenis tumbuhan supaya bisa dipahami siswa, dan itu sulit ternyata dilakukan (karena guru tidak bisa nggambar di komputer, dsb), maka ya jangan dilakukan ;). Alangkah lebih baik apabila pohon tersebut dibawa saja langsung ke depan kelas. Ini salah satu contoh bagaimana media pembelajaran itu sebenarnya tidak harus dengan teknologi informasi. Dalam sertifikasi guru, pemanfaatan media pembelajaran seperti pohon itu, atau kecoak dikeringkan, dsb tetap mendapatkan poin penilaian yang signifikan.

5.3  Susun Alur Cerita (Storyboard)
Susun alur cerita atau storyboard yang memberi gambaran seperti apa materi ajar akan disampaikan. Jangan beranggapan bahwa storyboard itu hal yang susah, bahkan point-point saja asalkan bisa memberi desain besar bagaimana materi diajarkan sudah lebih dari cukup. Cara membuatnya juga cukup dengan software pengolah kata maupun spreadsheet yang kita kuasai, tidak perlu muluk-muluk menggunakan aplikasi pembuat storyboard professional.

5.4  Mulai Buat Sekarang Juga!
Jangan menunda atau mengulur waktu lagi, buat sekarang juga! Siapkan Openoffice Impress atau Microsoft PowerPoint anda. Mulai buat slide pertama, isikan bahan ajar yang ingin anda multimedia-kan. Terus masukkan bahan ajar anda di slide slide berikutnya, mulai mainkan image, link dengan gambar, suara dan video yang bisa kita peroleh dengan gampang di Internet. Bisa juga memanfaatkan situs howstuffworks.com untuk mencari ide :).

5.5  Gunakan Teknik ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi)
Terapkan metode ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi). Usahakan sering melihat contoh-contoh yang sudah ada untuk membangkitkan ide. Gunakan logo, icon dan image yang tersedia secara default. Apabila masih kurang puas? Cari dari berbagai sumber dan buat sendiri apabila mampu.

5.6  Tetapkan Target
Jaga keseriusan proses belajar dengan membuat target pribadi, misalnya untuk mengikuti lomba, memenangkan award, menyiapkan produk untuk dijual, atau deadline jadwal mengajar di kelas. Target perlu supaya proses belajar membuat multimedia pembelajaran terjaga dan bisa berjalan secara kontinyu alias tidak putus di tengah jalan. Untuk lomba dan award, paling tidak di Indonesia ada berbagai event nasional yang bisa kita jadikan target. Balai pengembangan multimedia dan dinas pendidikan nasional di berbagai daerah saat ini saya lihat mulai marak menyelenggarakan berbagai event lomba di tingkat lokal (exp: Teacher Innovation (Microsoft), Lomba Pembuatan Multimedia Pembelajaran (Dikmenum), eLearning Award (Pustekkom), Game Technology Competition (BPKLN), dsb).

Tentu tidak ada kata mudah dalam berdjoeang, paling tidak 6 (enam) hal di atas adalah langkah yang cukup mudah ditempuh dan pada kenyataannya banyak yang berhasil berkarya karena tekun dan pantang menyerah mengulang-ulang 6 (enam) hal itu. Bagi bapak dan ibu guru, selamat berdjoeang!!!

Sumber:
Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. 2003. Kumpulan Bahan Pelatihan Stakeholders Pengembangan Civic Education di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Yogyakarta: Dikti Litbang PP Muhammadiyah.

Prashnig, Barbara. 2007. The Power of Learning Style, Bandung: Penerbit Kaifa

Ariasdi. 2008. Panduan Pengembangan Multimedia Pembelajaran, (Online), (http://ariasdimultimedia. wordpress.com/2008/02/12/panduan-pengembangan-multimedia-pembelajaran/), diakses tanggal 22 September 2010).

Wahono, Roni Satria. 2008. 7 Langkah Mudah Membuat Multimedia Pemelajaran, (Online), (http://multimedia pembelajaran.blogspot.com/2008/03/7-langkah-mudah-membuat-multimedia.html, diakses tanggal 22 September 2010).

Effantra. 2009. Pengertian Media Pembelajaran, (Online), (http://effantra.blogspot.com/2009/11/pengertian-media-pembelajaran.html, diakses tanggal 22 September 2010).

Minggu, 08 Agustus 2010

Kebijakan Implementasi Pendidikan Budi Pekerti

Oleh : Imam Nashokha, S.Pd.
Pendidik di SMPN 8 Tanjung

Pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter dibangkitkan kembali. hal ini bukan hanya dirasa oleh bangsa dan masyarkat Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara maju. Bahkan, di negara-negara industri di mana ikatan moral menjadi semakin longgar, masyarakatnya merasakan perlunya revival dari pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai diterlantarkan.

Munculnya kurikulum budi pekerti di tingkat persekolahan merupakan salah satu indikasi bahwa pendidikan budi pekerti sebagai salah satu media untuk membentuk watak dan karakter manusia Indonesia seutuhnya dipandang sangat penting. hal ini sangat beralasan karena jika kita mau mengakui secara jujur, masalah akhlak atau moralitas bangsa saai in sedang mengalami keprihatinan. Cobalah perhatikan berbagai fenomena kehidupan di masyarakat kita. Tawuran, penyalahgunaan narkotika, kurangnya rasa hormat anak kepada orang tua, penindasan, dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya! Semua itu terjadi sebagai akibat dari merosotnya penghayatan masyarakat terhadap nilai-nilai budi pekerti yang bersumber dari agama maupun budaya luhur bangsa.

Untuk itulah, sebagai upaya mengimplementasikan pendidikan budaya dan karakter bangsa dengan metodologi pendidikan harus memperhatikan kemampuan sosial, watak, budi pekerti, dan kecintaan terhadap budaya bangsa-bahasa Indonesia, Kabupaten Tabalong mengeluarkan kebijakan daerah melalui SURAT EDARAN BUPATI TABALONG Nomor B-545/DIK/UM/421/07/2010 tentang Pendidikan Akhlak Mulia dan Budi Pekerti, mulai tahun pelajaran 2010/2011 semua Sekolah/Madrasah mulai menerapkan Pendidikan Akhlak Mulia dan Budi Pekerti sebagai mata pelajaran tersendiri dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran/minggu.

Pembentukan dan penanaman nilai-nilai kehidupan dalam kegiatan pembelajaran, dituntut untuk keterlibatan dan kerja sama dari semua pihak. Khususnya bagi seorang guru atau pendidik untuk proses penanaman nilai ini dituntut adanya keteladanan.

Berkaitan dengan materi dan isi dari nilai-nilai yang akan ditanamkan, seorang guru yang sekaligus berperan sebagai pendidik dituntut untuk kereatif. kreatif menemukan kemungkinan untuk menawarkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Kreatif untuk berinisiatif untuk tekun mengolah perkembangan dan tuntutan yang ada tanpa meningalkan inti ajaran hidup. Hal ini berarti juga bahwa seorang guru harus terus-menerus belajar tentang makna hidup itu sendiri. (okha24)

Sabtu, 07 Agustus 2010

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sebagai Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru

Oleh : UD. Sukmana

Abstrak
Program pembinaan tenaga kependidikan biasanya diselenggarakan atas asumsi adanya berbagai kekurangan dilihat dari tuntutan organisasi, atau karena adanya kehendak dan kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang di kalangan tenaga kependidikan itu sendiri. Dari berbagai cara membina dan mengembangkan tenaga kependidikan baik dalam bentuk penyegaran (refreshing) maupun peningkatan kemampuan (up grading), MGMP dengan komitmen kebersamaan (collaborative effort) guru mata pelajaran dalam satu rumpun keilmuan dengan kontinuitasnya daharapkan mampu berperan dalam meningkatkan profsionalisme guru.
 
Pendahuluan
Secara umum setiap tindakan, aktivitas dan upaya yang dilakukan oleh seseorang baik secara individual, kelompok maupun dalam masyarakat, lembaga atau instansi pemerintahan maupun swasta, selalu berkaitan erat dengan tujuan, pedoman, dasar, idealisme, sarana dan prasarana, waktu. Kemampuan, situasi dan kondisi yang merupakan aspek penting yang harus diperhitungkan agar tindakan atau perbuatan dimaksud berhasil dengan memuaskan. Demikian pula dalam usaha menciptakan pendidikan bagi warga suatu bangsa tertentu.

Pemerintah atau pengelolaan pemerintah selalu berpijak kepada cita-cita, kebutuhan, filsafat hidup yang dianut oleh bangsa dari negara bersangkutan. Dasar atau tempat berpijak untuk melaksanakan perbuatan tersebut juga berkaitan erat dengan dimensi waktu, yaitu pada saat tindakan atau perbuatan dimaksud dilaksanakan, baik yang terjadi pada saat sekarang maupun pada waktu yang akan datang. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa usaha menciptakan pendidikan yang tepat, dalam arti dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat, pengelolaan pendidikan selalu berorientasi pada adanya perubahan-perubahan yang dapat terjadi pada setiap waktu. Perubahan-perubahan dimaksud dapat terjadi pada lingkungan sekitar, daerah yang agak luas, dalam negeri maupun di luar negeri. Pada umumnya perubahan yang terjadi dan mempengaruhi pendidikan disebabkan adanya perubahan politik, sosial, kemajuan, teknologi, dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Berkaitan dengan aktivitas atau perbuatan pendidikan sebagaimana dimaksudkan di atas, M.I. Soelaeman (1988 : 4) dalam perkembangan teori pendidikan yang dikemukakan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia terdapat dua cara memandang perbuatan pendidikan, yaitu :
a. Pandangan unsuriah yang memandang perbuatan itu molekul, sehingga untuk memahami benar-benar suatu perbuatan tertentu dipandang perlu identifikasi unsur-unsur yang terkecil dan kemudian dikaji corak pertautannya satu sama lain, dengan kata lain, perbuatan termasuk juga kedalamnya perbuatan pendidikan merupa kan suatu kumpulan dari unsur-unsur perbuatan tertentu sehingga merupakan suatu kuantitas. Pandangan ini memberikan kesempatan bagi suatu pendekatan kuantitatif terhadap perbuatan termasuk perbuatan keguruan/pendidi kan.

b. Pendekatan holistik, yang memandang suatu perbuatan itu secara moler, artinya sebagai keseluruhan. Untuk memahami suatu perbuatan termasuk perbuatan pendidikan tidak cukup dengan hanya memahami suatu perbuatan yang kecil, melainkan harus melihatnya dalam konteks keseluruhan perbuatan yang melibatkan perbuatan tersebut.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa usaha menciptakan pendidikan itu pada dasarnya berusaha memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat yang berupa kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan dasar yang harus diupayakan sehingga dapat dipenuhi secukupnya, yaitu kebutuhan sandang, pangan, dan papan serta perlindungan badan. Sedangkan kebutuhan rohani adalah saling menghormati nilai-nilai yang dianut oleh anggota keluarga, kelompok, masyarakat dan bangsa.
Terdapat berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang pada dasarnya bertumpu pada kemampuan atau produktivitas seseorang, yaitu berupa kemampuan jasmani yang mengutamakan pada kekuatan otot, atau badan.

Disamping itu juga dapat berupa kekuatan rohani yaitu daya pikir, daya cipta, penalaran atau dapat pula dua-duanya secara serentak bekerja dan bergerak mencapai tujuan tertentu.
Pendidikan selalu berusaha agar daya atau kekuatan yang terdapat pada manusia tersebut dapat ditingkatkan dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan yang dimaksud lebih efektif dan efisien. Dengan singkat dapat menunjang upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.

Jelaslah bahwa pendidikan merupakan faktor utama dan pertama dalam kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, yang berlaku semenjak dalam kandungan sampai ke liang lahat. Dengan demikian pendidikan bersifat mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan harus dilaksanakan sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan individu, kelompok, masyarakat, negara bahkan dunia.
Keberhasilan pendidikan sangat tergantung kepada guru sebagai penggiat pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik.

Tugas utama guru adalah mengajar, maka ia harus mempunyai kewenangan mengajar berdasarkan kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Sebagai tenaga pengajar, setiap guru harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang mengajar dan pembelajaran.

Dengan kemam puan itu guru dapat melaksanakan perannya, yaitu (1) sebagai fasilitator, yang menyediakan kemudahan-kemudahan bagi peserta didik dalam proses belajar mengajar, (2) sebagai pembimbing, yang membantu siswa mengatasi kesulitan pada proses belajar mengajar, (3) sebagai penyedia lingkungan, yang berupaya menciptakan lingkungan yang menantang siswa agar melakukan kegiatan belajar dengan bersemangat, (5) sebagai model, yang mampu memberikan contoh yang baik kepada peserta didik agar berperilaku sesuai dengan norma, (7) sebagai motivator, yang turut menyebar luaskan usaha-usaha pembaharuan kepada masyarakat khsussunya kepada subjek didik yaitu siswa, (8) sebagai agen moral dan politik, yang turut serta membina moral masyarakat, peserta didik serta menunjang upaya-upaya pemba ngunan, (9) sebagai agen kogitif, yang menyebarluaskan ilmu dan teknologi kepada peserta didik danmasyarakat, (10), sebagai manajer, yang memimpin kelompok siswa dalam kelas sehingga proses belajar mengajar berhasil.

Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud profesionalisme tenaga pendidikan, dalam hal ini guru, adalah kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam mengelola proses belajar mengajar dan usaha-usaha yang dilakukannya dalam menjalan kan tugas dan tanggungjawabnya.

Pembinaan dan Pengembangan
Tenaga Kependidikan
Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan merupakan usaha-usaha untuk mendayaguna-kan, memajukan dan meningkatkan produktivitas kerja setiap tenaga kependidikan yang ada di seluruh tingkatan manajemen organisasi dan jenjang pendidikan (sekolah-sekolah). Tujuan dari kegiatan pembinaan ini adalah tumbuhnya kemampuan setiap kependidikan yang meliputi pertumbuhan keilmuannya, wawasan berfikirnya, sikap terhadap pekerjaannya dan keterampilan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari sehingga produktivitas kerja dapat ditingkatkan.

Suatu program pembinaan tenaga kependidikan biasanya diseleng- garakan atas asumsi adanya berbagai kekurangan dilihat dari tuntutan organisasi, atau karena adanya kehendak dan kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang di kalangan tenaga kependidikan itu sendiri. Menurut Aas Syaefuddin dan Johar Permana (1991 : 69) terdapat beberapa prinsip yang patut diperhatikan dalam penyelenggaraan pembinaan tenaga kependidikan ini, yaitu :
a. Pembinaan tenaga kependidikan patut dilakukan untuk semua jenis tenaga kependidikan baik untuk tenaga struktural, tenaga fungsional maupun tenaga teknis penyelenggara pendidikan.
b. Pembinaan tenaga kependidikan berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam rangka peningkatan kemampuan pelaksanaan tugas sehari-hari sesuai dengan posisinya masing-masing.
c. Pembinaan tenaga kependidikan dilaksanakan untuk mendorong meningkatkan kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidikan atau sistem sekolah, dan menyediakan bentuk-bentuk penghargaan, kesejahteraan dan insentif sebagai imbalannya guna menjamin terpenuhinya secara optimal kebutuhan sosial ekonomi maupun kebutuhan sosial-psikologis.
d. Pembinaan tenaga kependidikan dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan / posisi, baik karena kebutuhan-kebutuhan praktis yang bersifat mendesak maupun karena kebutuhan-kebutuhan yang berorientasikan terhadap lowongan jabatan/ posisi dimasa yang akan datang.
e. Pembinaan tenaga kependidikan sebenarnya dirancang untuk memenuhi tuntutan partum- buhan dalam jabatan, pengembangan profesi, pemecahan masalah, kegiatan-kegiatan remedial, pemeliharaan motivasi kerja dan ketahanan organisasi pendidikan.
f. Khusus menyangkut dan jenjang karir tenaga kependidikan disesuaikan dengan kategori masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri. Meskipun demikian, dapat saja perjalanan karir seseorang menempuh penugasan yang silih berganti antara struktural dan fungsional hingga ke puncak karirnya.

Berdasarkan pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa cara yang lebih populer dalam membina dan mengembangkan tenaga kependidikan dilakukan melalui penataran (inservice training) dan ditujukan kepada guru-guru, baik dalam rangka penyegaran (refreshing) maupun dalam rangka peningkatan kemampuan mereka (up-grading). Sebenarnya pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan ini dilakukan pula untuk tenaga-tenaga kependidikan lainnya (bukan hanya guru-guru) melalui berbagai cara. Cara-cara ini bisa dilakukan sendiri-sendiri (self propelling growth) atau bersama-sama (collaborative effort), misalnya mengi- kuti kegiatan atau kesempatan ; pre-service training, on the job training, seminar, workshop, diskusi panel, rapat-rapat, simposium, konprensi dan sebagainya.

Pembinaan Profesionalisme Guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Dalam meningkatkan kemampu an profesionalime guru, tidak terlepas dari peran Dinas Pendidikan dan K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) dalam upaya menyeleng- garakan berbagai kegiatan dalam upaya peningkatan profesioanlisme guru, kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya ; seminar, lokakarya, penataran dan sebagainya.

Salah satu kegiatan yang selama ini dianggap efektif adalah melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), yang mana dalam kegiatan ini guru yang berasal dari satu rumpun (bidang studi) berkumpul untuk mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan bidang studi yang sama.
Dalam kaitannya dengan permasalahan di atas, Bahtiar Hasan (2002:32), mendefinisikan MGMP sebagai berikut : “Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pemantapan Kerja Guru adalah salah satu sistem penataran guru dengan pola dari, oleh dan untuk guru”.
Dari pendapat di atas jelas bahwa MGMP adalah salah satu bentuk penataran yang dilakukan oleh guru dengan pola yang dibuat oleh guru yang bersangkutan dan sekaligus mereka sebagai peserta.

Lebih jauh manfaat MGMP dikemukakan oleh Dian Mulyati Syarfi dalam Makalah Workshop TOT MGMP (2005:15), sebagai berikut
1. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan wadah yang efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi guru dikelas.
2. Di MGMP guru dengan gaya mengajar yang berbeda dan menghadapi siswa yang juga berbeda dapat berdiskusi , berbagi pengalaman dan mencari solusi permasalahan yang dihadapinya di kelas.
3. Program MGMP dirancang sesuai dengan kebutuhan guru mata pelajaran dan juga disesuaikan dengan paradigma baru dibidang pendidikan.

Selanjutnya Dian Mulyati Syarif (2005 :16-18) mengemukakan tentang langkah-langkah dalam mendirikan MGMP. Langkah-langkah tersebut adalah :
1. Tetapkan terlebih dahulu :
• Kerangka Anggaran Dasar MGMP
• Nama Organisasi , Tempat kedudukan
• Dasar, Tujuan, Bentuk Kegiatan
• Keanggotaan dan Kepengurusan
• Hak dan Kewajiban Anggota dan Pengurus
• Pendanaan
• Mengumpulkan guru mata pelajaran dengan bantuan kepala Dinas Pendidikan Kota
• Memilih pengurus melalui musyawarah dan menentukan letak sekretariat
• Merancang kegiatan dan program kerja MGMP
• Mencari informasi dari berbagai sumber dan mengembangkan- nya di MGMP
• Mendata / Mencari dukungan dana dengan mengajukan proposal
• Membuat program monitoring dan evaluasi kerja dan pelaporan

2. Buat Rancangan Kegiatan
a. Melakukan reformulasi pembe- lajaran melalui model-model pembelajaran yang variatif seperti:
• Mempersiapkan Program Pengajaran dan mendiskusikan strategi alternatif pembelaja ran yang efektif
• Merancang pengembangan silabus penilaian sesuai dengan paradigma baru Pendidikan
• Merancang Lembaran Kegia- tan Ilmiah untuk tiap kompetensi dasar
• Mendiskusikan penggunaan media pembelajaran yang tepat
b. Mendiskusikan kesulitan kesu litan yang dihadapi dalam KBM di kelas yaitu:
• Menampung permasalahan
• Mendiskusikan solusinya
c. Menampung Action Research guru, dan menyediakan jadwal presentasi
d. Sosialisasi pembaharuan yang didapat oleh guru yang mengikuti penataran tingkat nasional maupun tingkat provinsi.
e. Memperluas wawasan guru dengan mendatangkan nara sumber, studi banding

Apabila dicermati lebih jauh tentang konsep MGMP di atas, nampak bahwa Musyawarah Guru Mata Pelajaran pada hakikatnya adalah peningkatan kemampuan kerja yang dalam istilah manajemen lebih dikenal dengan istilah Program Pendidikan dan Latihan.

Agar tujuan MGMP dapat dicapai, berbagai langkah perlu ditempuh dalam menentukan bentuk dan proses MGMP, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Marwansyah dan Mukaram (2000 : 67) bahwa proses pendidikan dan latihan hendaknya dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Penentuan kebutuhan pendidikan dan latihan atau suatu penilaian keutuhan yang komprahensif.
2. Penetapan tujuan yang bersifat umum dan spesifik.
3. Pemilihan metode.
4. Pemilihan media.
5. Implementasi program.
6. Evaluasi program.

Dari pendapat Marwansyah dan Mukaram dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan dan latihan yang salah satu bentuknya adalah MGMP, harus didahului oleh penentuan kebutuhan dan diakhiri dengan evaluasi program.

Kesimpulan
Guru memiliki peranan yang strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal itu dapat dipamami karena guru adalah profesi pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik.
Guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada peserta didik.

Perkembangan baru terhadap pandangan belajar mengajar membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensi nya proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa banyak ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kompetensi guru adalah melalui forum MGMP, yang mana dalam kegiatan ini guru dalam satu rumpun bidang studi dan dalam satuan wilayah tertentu, melakukan kegiatan bersama untuk meningkatkan kemampuan yang berhubungan dengan profesnya. Agar tujuan MGMP dapat dicapai dengan optimal maka beberapa hal harus menjadi pertimbangan, yaitu :1). Penentuan kebutuhan pendidikan dan latihan atau suatu penilaian keutuhan yang komprahensif. 2) Penetapan tutuan yang bersifat umum dan spesifik. 3) Pemilihan metode. 4) Pemilihan media, 5) Implementasi program, dan 6) Evaluasi program.

Melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) diharapkan kemampuan guru dapat meningkat yang pada akhirnya akan berpengaruh positif terhadap kinerja guru dalam menjalankan fungsinya.


Daftar Pustaka
Aas Saefudin dan Johar Permana, 1991, Administrasi Pendidikan, FIP, IKIP Bandung
Bahtiar Hasan, (2002) Perencanaan Pengajaran Bidang Studi, Jakarta, Pustaka Ramadhan.
Dian Mulyati, 2005, Workshop TOT MGMP, Makalah.
Depdikbud, Petunjuk Teknis Pelaksanaan MGMP, (2000), Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Barat.
E. Mulyasa, (2005), Menjadi Guru Profesional, Bandung, Remaja Rosda Karya.
Marwansyah dan Mukaram (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, Politeknik Bandung Press.
Malayu S.P. Hasibuan, (2001), Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.
Mathis, Robert L. dan Jackson, John H., (2002) Manajemen Sumber Daya Manusia, (terjemahan Jimmi Sadeli dan Bayu Prawira Hie, Jakarta, PT Salemba 4.

Beranda




Selamat Datang di MGMP PKn Kabupaten Tabalong, 
Kalimantan Selatan



Kabupaten Tabalong adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Tanjung. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 3.496 km² dan berpenduduk sebanyak 187.208 jiwa (2006). Motto kabupaten ini ialah Saraba Kawa (Serba Sanggup) dalam bahasa Banjar.

 

Sejarah waktu ke waktu


Gedung DPRD Tabalong di Mabuun Raya, Kota Tanjung

 

Sejarah Pembentukan Kabupaten


Pendopo Bupati Tabalong di Pembataan, Kota Tanjung
Pada tanggal 15 Maret 1958, atas permufakatan orang-orang terkemuka di Tanjung, yang di prakarsai oleh Bapak Baharuddin Akhmid yang waktu itu menjabat Asisten Wedana di Kecamatan Tabalong Selatan, maka di bentuklah Panitia sementara Penuntutan Daerah Swatantra Tingkat II Tabalong yang di susun kepengurusannya sebagai berikut:
  • Penasehat : Baharuddin Akhmid
  • Ketua : Juhri
  • Wakil Ketua : A. Salman
  • Sekretaris : Usnan. As
  • Wakil Sekretaris : Abdullah Khairul
  • Bendahara : H. Baderi
  • Pembantu Umum : As,ad
  • Anggota-anggota : A. Syamsi, H. A. Sudani, M. Salman
Setelah Panitia Sementara terbentuk, untuk kepentingan perjuangan serta terjadinya beberapa mutasi terhadap Pegawai Negeri yang sudah duduk dalam kepanitian, maka komposisi dan personalia panitia penuntut mengalami beberapa kali perubahan hingga sampai pada Panitia V, di mana orang-orang yang mempunyai andil besar dan pernah menjadi Panitia Penuntut adalah sebagai berikut :
  • Abdussyukur
  • Amir Hasan
  • A. Sajeli
  • Basuni Ulita
  • A. Husaini
  • Juhrani
  • Majedi Effendi
  • Abdurahman Hamud
  • H. Baderi
  • H. Juhri Taher
  • H. Alikurdi Almas
  • Kadirman
  • H. Abdul Gani
  • Syahrap
  • H. Kurdi
  • Yahya. Z
  • H. Imansyah
  • Hiskia Tiro
  • H. Basuni (Kepala Desa)
  • Idar
  • Masran
Tak luput pula peran media massa dan RRI Banjarmasin selalu menginformasikan segala kegiatan masyarakat Tabalong, dengan kekompakkan perjuangan Panitia dalam segala bidang, akhirnya pada tanggal 5 Mei 1959 dalam sidang Pleno terbuka DPRD Hulu Sungai Utara telah memutuskan menyetujui sepenuhnya tuntutan rakyat Tabalong agar Kewedanaan Tabalong dapat di jadikan Daerah Swatantra Tingkat II Tabalong dengan ibukota Tanjung, yang terkenal dengan resolusi tanggal 5 Mei 1959 Nomor 2/II DPRD-1959, yang isinya selain menyetujui juga mendesak Pemerintah Pusat agar tuntutan dimaksud dapat dikabulkan. Perjuangan kearah yang di inginkan terlihat adanya titik terang, langkah semakin jelas, maka di perkuat lagi kedudukan Panitia untuk melancarkan arus perjuangan, maka Panitia sebelumnya di sempurnakan lagi dengan Panitia VI sebagai berikut :
  • Ketua Umum : Juhri
  • Ketua I : M. Salman
  • Ketua II : Maslan
  • Penulis I : Usnan. As
  • Penulis II : Abdullah
  • Bendahara : Norbek
  • Pembantu-pembantu : Semua Camat Dalam Kewedanaan Tabalong, Semua Anggota DPRD Hulu Sungai Utara yang tinggal di Kewedanaan Tabalong.
  • Seksi Politik : H. Baijuri Y, Ruminto dkk
  • Seksi Bangunan : Anang Basar, Donarian dkk
  • Seksi Perencanaan : Abdurrahman Projakal dkk
  • Seksi Penerangan : A. Syamsi, Hamidhan Baseri
  • Seksi Organisasi : Makmod Asnawi, Hamad dkk
Panitia ini telah berusaha dengan sekuat tenaga dan dana uang ada, mengadakan hubungan dengan pihak Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan dengan DPRD GR-nya, serta Tokoh-tokoh politik dan Ormas yang di wakili dalam DPRD- GR Propinsi Kalimantan Selatan , agar dapat dukungan dari mereka atas tuntutan ini.
Dari adanya kegiatan tersebut serta kerja sama yang harmonis, maka dalam sidang istimewa DPRD-GR Kalimantan Selatan telah menyetujui tuntutan rakyat Tabalong, Tapin, dan Tanah Laut masing-masing dijadikan Daerah Swantantra Tingkat II.

DPRD-GR Propinsi Kalimantan Selatan mengeluarkan Resolusi yang di tujukan ke Pemerintah Pusat, memohon Pemerintah Pusat dapat menyetujui dan selanjutnya melahirkan Daerah Tingkat II. Panitia dalam usahanya memperjuangkan ketingkat Pusat telah menghubungi Gubernur Kalimantan Selatan (waktu itu) Bapak Haji Maksid, untuk memohon nasehat dan petunjuk serta doa restu untuk berangkat ke Jakarta oleh Bapak Gubernur di berikan Petunjuk-petunjuk dan sekaligus merestui keberangkatan Panitia menemui Bapak Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, sertya Pejabat-pejabat Tinggi lainnya guna menyampaikan hasrat Rakyat Tabalong di maksud.

Berangkatlah Saudara Juhri dan Usman. As masing-masing selaku ketua Umum dan sekretaris Panitia dan pula oleh Bapak Muhyar Usman selaku wakil dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam waktu yang relatif singkat, rombongan Panitia telah dapat di terima oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Bapak IPIK Gandamana dalam percakapan akhir beliau mengatakan, bahwa pada prinsipnya saya dapat menyetujui tuntutan ini dan akan di ajukan pada Sidang DPR-GR yang akan datang.

Sebagai realisasi dari kunjungan Panitia, oleh DPR-GR telah mengutus ketua Komisi ” B ” yaitu Bapak I.S. Handoko Wijoyo untuk meninjau ketiga calon Daerah Tingkat II dimaksud, dalam kunjungan ke Tabalong Bapak I.S. Handoko Wijoyo mengatakan bahwa Tidak ada alasan untuk tidak menyetujui tuntutan Rakyat Tabalong ini.

Pada tanggal 5 September 1964 Kewadenaan Tabalong telah di tingkatkan statusnya menjadi Daerah Persiapan Tingkat II Tabalong dengan Kepala Kantornya Bapak Usman Dundrung Bekas Wedana Barabai. Lahirnya Undang-undang Noor 8 Tahun 1965 Tanggal 14 juni 1965, yang mendorong daerah pesiapan Tingkat II Tabalong ini di tingkatkan lagi menjadi Daerah Otonomi Tingkat II Tabalong, yang menjalankan roda Pemerintahan sendiri baik eksekutif maupun Legislatif dan untuk ini juga Pemerintah tetap di percayakan kepada Bapak Usman Dundrung.

Pada tanggal 1 Desember 1965 pukul 11.00 pagi bertempat di lapangan Giat Kota Tanjung oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Bapak Dr. Soemarno Sosro Atmodjo dengan di saksikan puluhan ribu rakyat Tabalong dan Pejabat-pejabat tinggi Kalimantan Selatan lainnya, maka papan nama yang di selubungi kain bludru hijau dengan untaian sutra kuning keemasan, telah di buka dengan resmi oleh Bapak Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dan di balik selubung yang terbuka itu terpampang kalimat yang bersenjata yang berbunyi, "DAERAH TINGKAT II TABALONG DIRESMIKAN 1 DESEMBER 1965″.

Suku bangsa

  1. Suku Banjar: 141.347 jiwa
  2. Suku Jawa: 19.924 jiwa
  3. Suku Bugis: 516 jiwa
  4. Suku Madura: 233 jiwa
  5. Suku Bukit: 1.106 jiwa
  6. Suku Mandar: 12 jiwa
  7. Suku Bakumpai: 41 jiwa
  8. Suku Sunda: 952 jiwa
  9. Lainnya: 6.575 jiwa
(Sumber: BPS - Sensus Penduduk tahun 2000)

Riwayat Nama Tabalong

Legenda tentang terciptanya nama Tabalong menurut hikayat lisan dari mulut ke mulut yang tersebar sejak tahun empat puluhan, ialah seperti yang di tulis seniman Tabalong dalam buku antologi puisi "Duri-duri Tataba" tahun 1996 yang di terbitkan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Tabalong, menyebutkan bahwa terwujudnya sebutan Tabalong yaitu bermula dari para perambah hutan yang mencari ladang dan huma hingga kakinya terinjak duri-duri Tataba, sejenis pohon yang seluruh batangnya penuh berduri keras, jenis tanaman ini mempunyai akar tunjang dan berbuah hanya menjadi makanan burung-burung hutan. Mereka menjerit (dalam bahasa Banjar Hulu, dikatakan "Jerit" sama dengan Tahalulung atau sama dengan melolong), karena kesakitan terkena duri-duri Tataba, inilah akhirnya menjadi penyebutan "TABALONG". Artinya terinjak duri Tataba. Jadi Tahalulung menjadi nama "Tabalong".